Minggu, 02 Desember 2012

Mengejar Kesuksesan


D
i wajahnya, Desa Semenanjung pagi itu tampak begitu riuh dengan aktivitas warganya. Cahaya matahari yang kuning keemasan seolah memanggil petani, pegawai, guru, pelajar, pedagang dan yang lainnya untuk segera memulai aktivitas rutinnya. Semburat cahaya kuning menembus daun-daun pepohonan menciptakan suasana yang tenang dan damai.
            Masih di pagi yang tenang ini, anak-anak sekolah mulai berangkat ke sekolah. Ada  yang berangkat dengan orang tuanya yang bekerja sebagai pengajar di sekolah. Ada juga yang berjalan kaki serta naik sepeda membentuk gerombolan kecil. Di bawah gugusan sinar keemasan anak-anak itu meramaikan pagi. Di beberapa sekolah anak-anak SD,SMP dan SMA sudah tampak ada yang menyapu kelas karena kebagian tugas piket kebersihan.
            Dimana-mana semua orang tampak sibuk. Termasuk Muhammad Yusuf Al Mukhsin yang harus segera cepat mengayuh sepeda bututnya agar tidak terlambat sampai di sekolah. Pukul 05.10 WIB Yusuf harus sudah bangun untuk mempersiapkan apa saja yang ia perlukan hari ini. Tepat pukul 06.30 Yusuf harus sudah berangkat karena jarak sekolahnya tidak begitu dekat dan medan yang tidak mudah pula. Ia harus melewati saluran air yang besar seperti sungai, jalan yang berbatu, perkebunan tebu, perkebunan kelapa sawit dan jalan raya yang ramai.
            Biasanya Yusuf menunggu teman-temannya di pinggir lapangan dengan waktu tunggu lima sampai sepuluh menit. Jika dalam waktu sepuluh menit tidak terlihat maka akan ditinggalkannya. Pagi ini ia berangkat dengan 10 orang temannya yang semuanya naik sepeda. Mereka terdiri dari 5 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Mereka membentuk dua barisan membanjar di pinggir jalan.
            Di sepanjang jalan mereka melewati permadani hijau yang terlihat sampai ke ujung pandangan, mata yang mengerlip-ngerlip karena embun pagi menerpa wajah-wajah mereka yang masih segar. Setelah melewati hamparan sawah yang hijau mereka harus melewati perkebunan tebu dan perkebunan kelapa sawit yang belum begitu tinggi. Di ujung jalan perkebunan kelapa sawit mereka bergabung dengan gerombolan anak-anak dari Desa Parit Dondong yang jumlahnya hampir sama dengan mereka. Tak jauh di depan mereka ada gerombolan anak-anak dari Desa Pasar Baru.
            Mereka semua berjalan saling beriringan membentuk barisan yang panjang seperti bebek yang menyebrang jalan. Tak lama kemudian mereka bergabung dengan gerombolan anak-anak dari Desa Pasar Gunung. Tidak lama lagi mereka hampir sampai di gerbang sekolah.
            Sesampainya mereka didepan gerbang sekolah. Suasana riuh dan ramai menyeruak di pandangan. Jalanan jadi macet karena angkutan umum berhenti sembarangan menurunkan penumpang yang rata-rata pelajar.
            Karena hari ini merupakan hari pertama yusuf dan anak baru lainnya masuk dan menjadi keluarga besar SMP N 1 Secanggang yang menjadi SMP terfavorit di kecamatan itu. Seragam putih-biru seperti buih yang berada di atas lautan. Keriuhan semakin menjadi ketika bel pertanda upacara bendera berbunyi. Sontak semua siswa sibuk merapikan atribut yang di gunakan sudah lengkap atau belum. Mulai dari topi, dasi, bet nama, bet kelas, sampai baju yang belum di masukan kedalam celana.
            Pagi ini adalah upacara penyambutan para murid baru. Semua murid baru tampak rapi dengan semua atribut yang lengkap. Tetapi ada juga siswa yang tidak lengkap dan mereka membuat barisan sendiri di samping lapangan. Upacara pun berjalan dengan tertib dan khitmat.
            Upacara telah usai, namun mereka tidak langsung masuk ke kelas karena mereka belum tahu kelas yang mana yang harus di masuki. Mereka membentuk barisan apel. Lalu seorang guru naik ke podium untuk membacakan kelas mana yang harus di tuju mereka.
            Kelas yang pertama kali di bacakan adalah kelas VII1. Suasana riuh seperti pasar ikan dengan sekejap lenyap bagai di telan bumi. Dengan suara yang keras dan jelas terdengar di telinga, guru itu memulai pembacaan pembagian kelas.
            Yusuf merasa deg-degan menuggu namanya di sebutkan. Lalu terdengar “Muhammad Yusuf Al Mukhsin”. Dia langsung mengambil tas dan bergegas menuju kelas barunya. Di tengah jalan di tersentak karena tiba-tiba ada seorang anak laki-laki menghampirinya dengan nafas agak terengah. Dengan nafas yang masih terengah dia berjalan di samping kanannya. Dan memperkenalkan dirinya.
 “perkenalkan namaku Zakaria, nama kamu siapa?”  
“Namaku Yusuf.”
“kamu dari daerah mana?”
“dari Desa Semenanjung di dekat daerah Pantai Gading.”
“oh... jauh juga kamu sekolah sampai kesini. Emang tadi naik apa?”
“Naik sepeda.”
“ kamu naik sepeda dengan jarak sejauh itu!” Agak kaget.
“ya... Nanti aku duduk sama kamu ya ?”
“ya dengan senang hati.”
            Sampai di dalam kelas mereka berdua melihat-lihat mana bangku yang masih kosong. Mereka memilih duduk di baris ke 2 dan barisan ke 3. Tidak lama mereka duduk, seorang guru dengan badan kurus dan senyum merekah di setiap pandangannya berjalan menuju kelas mereka. Guru itu mengenakan seragam berwarna merah hati berpadu dengan jilbab berwarna senada.
“Pagi anak-anak?”
“Pagi bu...” jawab mereka semua.
“Hari ini kita tidak akan langsung belajar. Kita akan buka dengan salam perkenalan dari kalian semua. Di mulai dari depan sebelah kanan dan langsung sambung kesampingnya.”
 Di bangkunya Yusuf tampak gugup dan agak berkeringat di keningnya.
Tiba giliran Yusuf memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Muhammad Yusuf Al Mukhsin, asal sekolah Madrasah Ibtidaiyah Semenanjung, alamat rumah Dusun VIII Semenanjung Karang Gading.”
Suasana yang sunyi berubah riuh ketika bel istirahat berbunyi menggaung di seluruh penjuru sekolah. 600-an siswa keluar dari kelas dengan serentak seperti semut yang sarangnya di ganggu manusia. Suasana ramai terlihat di beberapa sudut sekolah terutama di kantin bu hendra yang menjual kue-kue basah,es lilin,snack,mie so, dan makanan ringan lainnya.
Matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun. Panasnya hari membuat untung penjual minuman dingin. Yusuf mengambil sepedanya di parkiran. Ia langsung mengayuh sepedanya menuju arah rumahnya.
Belum jauh ia bejalan di belakangnya terliahat teman-temannya bergerombol di jalanan yang lumayan luas. Jalanan di penuhi oleh anak sekolah yang baru pulang.
“kalian lama sekali, aku dari tadi tunggu kalian di bawah pohon tapi tidak muncul-muncul!” tanya Yusuf.
“kami tadi beli minum dulu soalnya panas banget.” Jawab Beno.
“Kamu tidak beli minum?” tanya Candra
“uangku sudah habis tadi di kantin.” Yusuf menjawab
“kamu mau! Ni punyaku masih ada!” tawar Beno.
“tidak terima kasih.” Tolaknya
            “hay... tunggu!” terdengar suara perempuan memanggil mereka dari belakang. “Aku tau itu pasti Rosita!” kata Yusuf dalam hatinya. Lalu ia menoleh kebelakang melihat rombongan anak perempuan. Mereka agak ngebut untuk mengejar rombongan Yusuf.
“Kalian kenapa meninggalkan kami?” Mia mengadu
“Iya ni... tega sekali melihat perempuan jalan sendirian tanpa ada laki-laki, entar kalau terjadi apa-apa dengan kami bagaimana?” tukas Meli menyambung perkataan Mia
“kalian yang geraknya lama!” Potong Candra
“Sudah  jangan pada salah-salahan.” Yusuf melerai.
            Tidak terasa hanya tinggal mereka yang masih di jalanan. Anak-anak yang lain sudah banyak yang berbelok ke gangnya masing-masing sedangkan mereka masih cukup jauh. Mereka membuat perjalanan menjadi menyenangkan saat mereka adu balap di jalanan. Aditya otak dari balapan ini.
“balapan yuk...?” Ajak Aditya
“Ok siapa takut.” Balas Beno.
Mereka balapan sepeda dan yang lain mengikuti di belakangnya dengan santai. Namun tiba-tiba rendy terjatuh.
            Astagfirullah  kenapa itu Beno.” Yusuf beristigfar. Ia melihat temannya jatuh di pinggir  jalan. “Kamu tidak apa-apa Ben!” tanya Yusuf. “tidak apa-apa kok, Cuma lututku lecet sedikit.”katanya. Teman-teman yang lain ikut berhenti menolong Beno.
“Makanya jangn sok jadi Rossi.” Ejek Mia
“Mia ni temen lagi sakit malah di ejekin.” Bela Cindy
“Masih bisa berjalan kan?” Tanya Yusuf
“Masih kok. Tenang aja.” Jawab Beno.
“ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Tapi ingat jangan ngebut-ngebutan lagi.” Nasehat Yusuf
“Dengar itu Ren.” Ejek Mia
            “Ini gara-gara Aditya ajak-ajak aku balapan, dia pun maennya curang, dia menghalangiku waktu mau melewati dia. Udah gitu aku di giring ke pinggir jalan, Aku tidak melihat ada lubang lalu aku jatuh.” Ceritanya
            “Itu bukan salah siapa-siapa, itu salah kalian sendiri, suruh siapa kebut-kebutan. Seharusnya kalian tidak usah kebut-kebutan karena itu berbahaya. Untung saja siang ini jalan sepi bagaiman kalau tadi ada kendaraan yang lewat. Kalau sudah kejadian baru kalian jerah.”Yusuf memberi masukan.
“Tadi bagaimana di kelas! Sudah dapat teman atau belum?” tanya Beno. “Sudah. Kamu sendiri bagaimana?” Yusuf bertanya balik.
            “Sudah satu kelas aku kenal semua.” Jawabnya.
            “Siapa teman sebangku kamu ?” balas Yusuf.
            “Rian dari desa Pasar Baru.” Jawab Beno.
            “oh begitu,,, ngomong-ngomong kita sudah hampir sampai, tinggal melewati dua desa lagi kita akan sampai.”
 Teriknya cuaca hari itu membuat mereka terasa lelah karna mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh. Mereka pun berhenti di bawah pohon selama beberapa menit. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan mereka.
Suatu hari Yusuf dan Beno berbincang di bawah pohon sambil melihat ternak yang di gembala oleh Beno.
“Setelah lulus SMP kamu mau melanjutkan kemana Ben ?” tanya Yusuf.
“Saya tidak tahu mau melanjutkan kemana. Mungkin diriku tidak melanjutkan sekolahku Suf.” Jawab Beno.
“Kenapa ?” Yusuf bertanya lagi.
“Tidak apa-apa. Buat apa pun sekolah menghabiskan uang dan waktu saja dengan duduk di bangku sekolah sambil mendengarkan ocehan guru yang membuat pusing kepala. Banyak orang yang sarajana tapi jadi pengangguran juga.” Beno memberi jawaban dan alasan dari pertanyaan Yusuf.
“Pemikiranmu salah Ben. Kalau kita tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan bagaimana kita mau maju. Sekolah itu penting Ben.” Sanggah Yusuf.
“Sebenarnya aku juga ingin, tapi aku kurang mendapat dukungan dari orang tua ku.” Jawabnya.
“Kenapa orang tua mu kurang mendukungmu untuk sekolah?” tanya Yusuf penasaran.
“Mereka mengatakan apa yang kukatakan tadi. Sekolah itu tidak penting, yang terpenting adalah bekerja mencari uang dengan selalu bekerja keras. Dan pernyataan itu memutuskan semangatku untuk sekolah.” Jawab Beno.
“Persepsi yang begitu yang membuat hidup kita begini-begini saja tidak ada perubahan menjadi generasi yang lebih baik.” Kata Yusuf.
“Waduhhh.... kambing - kambingku udah jauh banget.” Sambil berlalari Beno menghampiri kambing – kambingnya dan Yusuf ikut mengejar Beno untuk membantunya menggiring kambing – kambing Beno. Tubuh Yusuf yang agak kecil namun berisi mampu mendahului Beno yang badannya agak besar dan tinggi.
Di bawah sinar senja yang kemerahan mereka bercanda dan berlari kesana kemari sembari menggembala kambing. Suasana yang nantinya akan menjadi kenangan tentang mereka berdua. Dan mentari pun mulai menyembunyikan sinarnya. Mereka berdua pulang dengan berjalan di belakang gerombolan kambing – kambing milik Beno.
            Perjalanan mereka sebagai generasi muda sangatlah panjang. Berbagai cobaan dan ujian mereka lalui dengan suka cita di hati. Yusuf begitu bersemangat dalam menuntut ilmu. Sedangkan teman – temannya tidak sesemangat Yusuf. Samapai suatu saat semangatnya menurun karena terpengaruh oleh teman – temannya. Tetapi Yusuf tetap yakin dan optimis bahwa suatu saat nanti ia akan meraih kesuksesan.
Tahun demi tahun telah mereka lalui. Mereka lalu melanjutkan pendidikan ke SLTA. Tetapi tidak semua dari mereka melanjutkan pendidikannya dengan alasan biaya dan pemikiran yang masih primitif. Mereka berpikir tanpa pendidikan kita bisa hidup dan menghasilkan uang tanpa harus membuang – buang uang dan waktu hanya untuk menuntut ilmu di sekolah. Pemikiran seperti itu adalah salah besar. Jika ingin maju kita harus punya pemikiran yang kreatif dan inovatif untuk meningkatkan taraf hidup yang kita miliki.
Pada saat kelas tiga yusuf selalu bingung jika ditanya “Mau nyambung kemana ?”.  setiap kali ia merasa kebimbangan ia menundukkan kepala untuk memohon petunjuk kepada sang pemberi petunjuk.  Keputusan itu belum ia daptkan juga. Lalu ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA, namun tidak lama. Baru satu minggu bersekolah di SMA ia pindah ke SMK.
            Yusuf melanjutkan sekolahnya ke SMK Harapan bangsa dengan mengambil jurusan Teknologi Informatika program keahlian multimedia. Di program keahlian Multimedia ia diajarkan bagimana mendesain logo, packing produk, editing photo, membuat animasi sederhana, desain web, dan lain sebagainya. Sedangkan temannya Beno lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik di kota.
            Waktu terus berputar mengurangi umur hidup umat manusia di dunia. Yusuf kini telah lulus dari SMK. Ia bingung antara melanjutkan kuliah dan kerja. Ia minta pendapat kesana – kesini tetapi itu malah membuatnya semakin bingung. Setelah beberapa kali ia memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa tiba- tiba ia di tawari bekerja di perusahaan milik teman ayahnya. Ia berpikir dan mencoba menyusun planing kedepannya. Setelah beberapa waktu berfikir akhirnya Yusuf memutuskan menerima tawaran ayahnya untuk bekerja di perusahaan milik temannya..
            Di tahun pertama Yusuf merasa agak jenuh dan bosan dengan pekerjaannya. Ia melihat temannya Beno yang bekerja di sebuah tempat pembuatan furnitur dan perabot “Ku lihat Beno santai sekali dalam bekerja, jam segini biasanya orang bekerja dia masih berjalan – jalan dengan teman wanitanya.” Ucapnya dalam hati. Dalam batin ia merasa agak iri dengan kesenangan yang di dapatkan oleh Beno.
            Di tahun kedua Yusuf kepikiran kuliah. Ia merasa ilmunya masih belum cukup untuk membangun sebuah usaha. Ia memiliki impian besar yang sangat mulia. Jika ia menjadi orang sukses dia ingin membangun sebuah tempat pendidikan agama yang layak di Desanya, membangun sebuah perpustakaan desa, dan memperbaiki Mushala di Desanya.
            Setelah lima tahun bekerja ia berpikir untuk memulai usaha sendiri. Dia merasa pengalamannya bekerja pada perusahaan teman ayahnya sudah cukup untuk pemula seperti dirinya. Lalu ia meberanikan diri meminjam modal kepada koprasi untuk membuka usaha. Yusuf ingin membuka sebuah usaha Rental komputer. Sedangkan Beno hidup senang karena telah bisa menghasilkan uang sendiri.
            Suatu hari Yusuf dan Beno bertemu di suatu jalan. Beno tengah mengendarai sepeda motor dengan agak terburu – buru, sedangkan Yusuf tengah membeli bahan kebutuhan usahanya.
            “Woy Ben ??? Mau kemana kamu ?” tanya Yusuf setengah berteriak.
            “Woy Suf ! aku mau ke tempat kerja ni.” Jawabnya santai.
            “Kok telat sekali jam segini kamu baru berangkat kerja.”  Kata Yusuf.
            “Tadi aku bangun kesiangan. Kamu sendiri ngapain disini ?” Beno balik bertanya.
            “Aku sedang membeli peralatan dan bahan – bahan untuk usahaku.” Jawabnya.
            “Kamu sudah membuka usaha sendiri Suf ?? agak kaget.
            “Alhamdulillah, aku mau memulai usaha Rental komputer di dekat kampus.” Jawab Yusuf.
            “Wah makin maju aja kamu suf, kalau ada kerjaan beri tau aku ya hehehe.” Kata Beno sambil tertawa.
            “Bisa di atur itu Ben, hehehehe...” Balas Yusuf sambil tertawa juga.
            “Kalau begitu aku duluan ya. Sudah telat sekali aku ini. Sampai jumpa lagi nanti.” Beno berlalu dengan sepeda motornya.
            “Ya. Hati – hati Ben.” Balas Yusuf.
            Yusuf pun sudah selesai dengan semua yang di butuhkannya. Dia pulang dan mulai melakukan pekerjaannya. Satu minggu lamanya ai mempersiapkan semuanya. Hingga akhirnya ia berhasil membuka usaha barunya. Dengan kemampuan yang ia peroleh sewaktu sekolah dulu ia tidak begitu sulit dalam melakoni usaha ini.
            Tidak lama membuka usaha Yusuf membeli dua buah mesin fotocopy dan peralatan kantor lainnya. Dia memanfaatkan peluang dari para mahasiswa dan mahasiswi guna keperluan kuliah. 
            Yusuf belum puas dengan apa yang ia peroleh sekarang, ia masih ingin membuka usaha percetakan. Rencana itu terus berputar – putar dikepalanya. Dia ingin segera mewujudkan impian mulianya. Sampai saat itu ia hanya mampu membangun sebuah surau untuk anak – anak belajar mengaji dengan beberapa buku bekas yang ia dapatkan dari sumbangan mahasiswa kampus dekat rentalnya.
            Sepuluh  tahun kemudian Yusuf berhasil membangun usaha percetakannya dengan modal yang ia peroleh dari usaha rentalnya. Ia terus membangun usahanya yang kecil hingga kini menjadi besar. Ia telah membuka cabang di beberapa daerah di sekitar desanya. Yusuf sangat bersyukur atas keberhasilan yang ia raih. Namun ia tidak lupa akan impian dan nazarnya untuk membangun perpustakaan desa guna meningkatkan ilmu pengetahuan. Surau pengajian anak – anak juga ia bangun menjadi gedung semi permanen. Dan ia tidak akan lupa untuk merenopasi mushala di desanya.
            Sedangkan Beno menganggur karena di pecat dari pekerjaannya akibat ia sering terlambat dan suka bolos kerja. Beno yang dulu hidup senang banyak uang, kini harus merana karena tidak lagi memiliki pekerjaan.

2 komentar: