D
|
i wajahnya, Desa Semenanjung pagi itu tampak begitu riuh
dengan aktivitas warganya. Cahaya matahari yang kuning keemasan seolah memanggil
petani, pegawai, guru, pelajar, pedagang dan yang lainnya untuk segera memulai
aktivitas rutinnya. Semburat cahaya kuning menembus daun-daun pepohonan
menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Masih di
pagi yang tenang ini, anak-anak sekolah mulai berangkat ke sekolah. Ada yang berangkat dengan orang tuanya yang bekerja
sebagai pengajar di sekolah. Ada juga yang berjalan kaki serta naik sepeda
membentuk gerombolan kecil. Di bawah gugusan sinar keemasan anak-anak itu
meramaikan pagi. Di beberapa sekolah anak-anak SD,SMP dan SMA sudah tampak ada
yang menyapu kelas karena kebagian tugas piket kebersihan.
Dimana-mana
semua orang tampak sibuk. Termasuk Muhammad Yusuf Al Mukhsin yang harus segera
cepat mengayuh sepeda bututnya agar tidak terlambat sampai di sekolah. Pukul 05.10
WIB Yusuf harus sudah bangun untuk mempersiapkan apa saja yang ia perlukan hari
ini. Tepat pukul 06.30 Yusuf harus sudah berangkat karena jarak sekolahnya tidak
begitu dekat dan medan yang tidak mudah pula. Ia harus melewati saluran air
yang besar seperti sungai, jalan yang berbatu, perkebunan tebu, perkebunan
kelapa sawit dan jalan raya yang ramai.
Biasanya
Yusuf menunggu teman-temannya di pinggir lapangan dengan waktu tunggu lima sampai
sepuluh menit. Jika dalam waktu sepuluh menit tidak terlihat maka akan
ditinggalkannya. Pagi ini ia berangkat dengan 10 orang temannya yang semuanya
naik sepeda. Mereka terdiri dari 5 orang laki-laki dan 6 orang perempuan.
Mereka membentuk dua barisan membanjar di pinggir jalan.
Di
sepanjang jalan mereka melewati permadani hijau yang terlihat sampai ke ujung
pandangan, mata yang mengerlip-ngerlip karena embun pagi menerpa wajah-wajah mereka
yang masih segar. Setelah melewati hamparan sawah yang hijau mereka harus
melewati perkebunan tebu dan perkebunan kelapa sawit yang belum begitu tinggi.
Di ujung jalan perkebunan kelapa sawit mereka bergabung dengan gerombolan
anak-anak dari Desa Parit Dondong yang jumlahnya hampir sama dengan mereka. Tak
jauh di depan mereka ada gerombolan anak-anak dari Desa Pasar Baru.
Mereka
semua berjalan saling beriringan membentuk barisan yang panjang seperti bebek
yang menyebrang jalan. Tak lama kemudian mereka bergabung dengan gerombolan
anak-anak dari Desa Pasar Gunung. Tidak lama lagi mereka hampir sampai di
gerbang sekolah.
Sesampainya
mereka didepan gerbang sekolah. Suasana riuh dan ramai menyeruak di pandangan.
Jalanan jadi macet karena angkutan umum berhenti sembarangan menurunkan
penumpang yang rata-rata pelajar.
Karena
hari ini merupakan hari pertama yusuf dan anak baru lainnya masuk dan menjadi
keluarga besar SMP N 1 Secanggang yang menjadi SMP terfavorit di kecamatan itu.
Seragam putih-biru seperti buih yang berada di atas lautan. Keriuhan semakin
menjadi ketika bel pertanda upacara bendera berbunyi. Sontak semua siswa sibuk
merapikan atribut yang di gunakan sudah lengkap atau belum. Mulai dari topi, dasi,
bet nama, bet kelas, sampai baju yang belum di masukan kedalam celana.
Pagi ini
adalah upacara penyambutan para murid baru. Semua murid baru tampak rapi dengan
semua atribut yang lengkap. Tetapi ada juga siswa yang tidak lengkap dan mereka
membuat barisan sendiri di samping lapangan. Upacara pun berjalan dengan tertib
dan khitmat.
Upacara
telah usai, namun mereka tidak langsung masuk ke kelas karena mereka belum tahu
kelas yang mana yang harus di masuki. Mereka membentuk barisan apel. Lalu
seorang guru naik ke podium untuk membacakan kelas mana yang harus di tuju
mereka.
Kelas
yang pertama kali di bacakan adalah kelas VII1. Suasana riuh seperti pasar ikan
dengan sekejap lenyap bagai di telan bumi. Dengan suara yang keras dan jelas
terdengar di telinga, guru itu memulai pembacaan pembagian kelas.
Yusuf
merasa deg-degan menuggu namanya di sebutkan. Lalu terdengar “Muhammad Yusuf Al
Mukhsin”. Dia langsung mengambil tas dan bergegas menuju kelas barunya. Di
tengah jalan di tersentak karena tiba-tiba ada seorang anak laki-laki menghampirinya
dengan nafas agak terengah. Dengan nafas yang masih terengah dia berjalan di
samping kanannya. Dan memperkenalkan dirinya.
“perkenalkan
namaku Zakaria, nama kamu siapa?”
“Namaku Yusuf.”
“kamu dari daerah mana?”
“dari Desa Semenanjung di dekat daerah Pantai Gading.”
“oh... jauh juga kamu sekolah sampai kesini. Emang tadi
naik apa?”
“Naik sepeda.”
“ kamu naik sepeda dengan jarak sejauh itu!” Agak kaget.
“ya... Nanti aku duduk sama kamu ya ?”
“ya dengan senang hati.”
Sampai
di dalam kelas mereka berdua melihat-lihat mana bangku yang masih kosong.
Mereka memilih duduk di baris ke 2 dan barisan ke 3. Tidak lama mereka duduk,
seorang guru dengan badan kurus dan senyum merekah di setiap pandangannya
berjalan menuju kelas mereka. Guru itu mengenakan seragam berwarna merah hati
berpadu dengan jilbab berwarna senada.
“Pagi anak-anak?”
“Pagi bu...” jawab mereka semua.
“Hari ini kita tidak akan langsung belajar. Kita akan
buka dengan salam perkenalan dari kalian semua. Di mulai dari depan sebelah
kanan dan langsung sambung kesampingnya.”
Di bangkunya Yusuf tampak gugup dan agak
berkeringat di keningnya.
Tiba giliran Yusuf memperkenalkan dirinya.
Tiba giliran Yusuf memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Muhammad
Yusuf Al Mukhsin, asal sekolah Madrasah Ibtidaiyah Semenanjung, alamat rumah
Dusun VIII Semenanjung Karang Gading.”
Suasana yang sunyi
berubah riuh ketika bel istirahat berbunyi menggaung di seluruh penjuru
sekolah. 600-an siswa keluar dari kelas dengan serentak seperti semut yang sarangnya
di ganggu manusia. Suasana ramai terlihat di beberapa sudut sekolah terutama di
kantin bu hendra yang menjual kue-kue basah,es lilin,snack,mie so, dan makanan
ringan lainnya.
Matahari sudah
tepat berada di atas ubun-ubun. Panasnya hari membuat untung penjual minuman
dingin. Yusuf mengambil sepedanya di parkiran. Ia langsung mengayuh sepedanya
menuju arah rumahnya.
Belum jauh ia
bejalan di belakangnya terliahat teman-temannya bergerombol di jalanan yang
lumayan luas. Jalanan di penuhi oleh anak sekolah yang baru pulang.
“kalian lama sekali,
aku dari tadi tunggu kalian di bawah pohon tapi tidak muncul-muncul!” tanya Yusuf.
“kami tadi beli
minum dulu soalnya panas banget.” Jawab Beno.
“Kamu tidak beli
minum?” tanya Candra
“uangku sudah habis
tadi di kantin.” Yusuf menjawab
“kamu mau! Ni
punyaku masih ada!” tawar Beno.
“tidak terima kasih.”
Tolaknya
“hay...
tunggu!” terdengar suara perempuan memanggil mereka dari belakang. “Aku tau itu
pasti Rosita!” kata Yusuf dalam hatinya. Lalu ia menoleh kebelakang melihat
rombongan anak perempuan. Mereka agak ngebut untuk mengejar rombongan Yusuf.
“Kalian kenapa
meninggalkan kami?” Mia mengadu
“Iya ni... tega sekali
melihat perempuan jalan sendirian tanpa ada laki-laki, entar kalau terjadi
apa-apa dengan kami bagaimana?” tukas Meli menyambung perkataan Mia
“kalian yang
geraknya lama!” Potong Candra
“Sudah jangan pada salah-salahan.” Yusuf melerai.
Tidak
terasa hanya tinggal mereka yang masih di jalanan. Anak-anak yang lain sudah
banyak yang berbelok ke gangnya masing-masing sedangkan mereka masih cukup
jauh. Mereka membuat perjalanan menjadi menyenangkan saat mereka adu balap di
jalanan. Aditya otak dari balapan ini.
“balapan yuk...?”
Ajak Aditya
“Ok siapa takut.”
Balas Beno.
Mereka balapan sepeda dan yang lain mengikuti di
belakangnya dengan santai. Namun tiba-tiba rendy terjatuh.
“Astagfirullah kenapa itu Beno.” Yusuf beristigfar. Ia
melihat temannya jatuh di pinggir jalan.
“Kamu tidak apa-apa Ben!” tanya Yusuf. “tidak apa-apa kok, Cuma lututku lecet
sedikit.”katanya. Teman-teman yang lain ikut berhenti menolong Beno.
“Makanya jangn sok
jadi Rossi.” Ejek Mia
“Mia ni temen lagi
sakit malah di ejekin.” Bela Cindy
“Masih bisa
berjalan kan?” Tanya Yusuf
“Masih kok. Tenang
aja.” Jawab Beno.
“ayo kita lanjutkan
perjalanan kita. Tapi ingat jangan ngebut-ngebutan lagi.” Nasehat Yusuf
“Dengar itu Ren.”
Ejek Mia
“Ini
gara-gara Aditya ajak-ajak aku balapan, dia pun maennya curang, dia
menghalangiku waktu mau melewati dia. Udah gitu aku di giring ke pinggir jalan,
Aku tidak melihat ada lubang lalu aku jatuh.” Ceritanya
“Itu
bukan salah siapa-siapa, itu salah kalian sendiri, suruh siapa kebut-kebutan.
Seharusnya kalian tidak usah kebut-kebutan karena itu berbahaya. Untung saja
siang ini jalan sepi bagaiman kalau tadi ada kendaraan yang lewat. Kalau sudah
kejadian baru kalian jerah.”Yusuf memberi masukan.
“Tadi bagaimana di kelas! Sudah dapat teman atau belum?” tanya Beno. “Sudah.
Kamu sendiri bagaimana?” Yusuf bertanya balik.
“Sudah satu kelas aku kenal semua.”
Jawabnya.
“Siapa teman sebangku kamu ?” balas
Yusuf.
“Rian
dari desa Pasar Baru.” Jawab Beno.
“oh
begitu,,, ngomong-ngomong kita sudah hampir sampai, tinggal melewati dua desa
lagi kita akan sampai.”
Teriknya cuaca hari itu membuat mereka terasa
lelah karna mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh. Mereka pun berhenti
di bawah pohon selama beberapa menit. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan
mereka.
Suatu hari Yusuf
dan Beno berbincang di bawah pohon sambil melihat ternak yang di gembala oleh
Beno.
“Setelah lulus SMP
kamu mau melanjutkan kemana Ben ?” tanya Yusuf.
“Saya tidak tahu
mau melanjutkan kemana. Mungkin diriku tidak melanjutkan sekolahku Suf.” Jawab
Beno.
“Kenapa ?” Yusuf
bertanya lagi.
“Tidak apa-apa.
Buat apa pun sekolah menghabiskan uang dan waktu saja dengan duduk di bangku
sekolah sambil mendengarkan ocehan guru yang membuat pusing kepala. Banyak
orang yang sarajana tapi jadi pengangguran juga.” Beno memberi jawaban dan
alasan dari pertanyaan Yusuf.
“Pemikiranmu salah
Ben. Kalau kita tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan bagaimana kita mau
maju. Sekolah itu penting Ben.” Sanggah Yusuf.
“Sebenarnya aku
juga ingin, tapi aku kurang mendapat dukungan dari orang tua ku.” Jawabnya.
“Kenapa orang tua
mu kurang mendukungmu untuk sekolah?” tanya Yusuf penasaran.
“Mereka mengatakan
apa yang kukatakan tadi. Sekolah itu tidak penting, yang terpenting adalah
bekerja mencari uang dengan selalu bekerja keras. Dan pernyataan itu memutuskan
semangatku untuk sekolah.” Jawab Beno.
“Persepsi yang
begitu yang membuat hidup kita begini-begini saja tidak ada perubahan menjadi
generasi yang lebih baik.” Kata Yusuf.
“Waduhhh....
kambing - kambingku udah jauh banget.” Sambil berlalari Beno menghampiri
kambing – kambingnya dan Yusuf ikut mengejar Beno untuk membantunya menggiring
kambing – kambing Beno. Tubuh Yusuf yang agak kecil namun berisi mampu
mendahului Beno yang badannya agak besar dan tinggi.
Di bawah sinar
senja yang kemerahan mereka bercanda dan berlari kesana kemari sembari
menggembala kambing. Suasana yang nantinya akan menjadi kenangan tentang mereka
berdua. Dan mentari pun mulai menyembunyikan sinarnya. Mereka berdua pulang
dengan berjalan di belakang gerombolan kambing – kambing milik Beno.
Perjalanan
mereka sebagai generasi muda sangatlah panjang. Berbagai cobaan dan ujian
mereka lalui dengan suka cita di hati. Yusuf begitu bersemangat dalam menuntut
ilmu. Sedangkan teman – temannya tidak sesemangat Yusuf. Samapai suatu saat
semangatnya menurun karena terpengaruh oleh teman – temannya. Tetapi Yusuf
tetap yakin dan optimis bahwa suatu saat nanti ia akan meraih kesuksesan.
Tahun demi tahun
telah mereka lalui. Mereka lalu melanjutkan pendidikan ke SLTA. Tetapi tidak
semua dari mereka melanjutkan pendidikannya dengan alasan biaya dan pemikiran
yang masih primitif. Mereka berpikir tanpa pendidikan kita bisa hidup dan
menghasilkan uang tanpa harus membuang – buang uang dan waktu hanya untuk
menuntut ilmu di sekolah. Pemikiran seperti itu adalah salah besar. Jika ingin
maju kita harus punya pemikiran yang kreatif dan inovatif untuk meningkatkan
taraf hidup yang kita miliki.
Pada saat kelas
tiga yusuf selalu bingung jika ditanya “Mau nyambung kemana ?”. setiap kali ia merasa kebimbangan ia
menundukkan kepala untuk memohon petunjuk kepada sang pemberi petunjuk. Keputusan itu belum ia daptkan juga. Lalu ia
memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA, namun tidak lama. Baru satu
minggu bersekolah di SMA ia pindah ke SMK.
Yusuf
melanjutkan sekolahnya ke SMK Harapan bangsa dengan mengambil jurusan Teknologi
Informatika program keahlian multimedia. Di program keahlian Multimedia ia
diajarkan bagimana mendesain logo, packing produk, editing photo, membuat
animasi sederhana, desain web, dan lain sebagainya. Sedangkan temannya Beno
lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik di kota.
Waktu terus
berputar mengurangi umur hidup umat manusia di dunia. Yusuf kini telah lulus dari
SMK. Ia bingung antara melanjutkan kuliah dan kerja. Ia minta pendapat kesana –
kesini tetapi itu malah membuatnya semakin bingung. Setelah beberapa kali ia
memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa tiba- tiba ia di tawari bekerja di
perusahaan milik teman ayahnya. Ia berpikir dan mencoba menyusun planing kedepannya.
Setelah beberapa waktu berfikir akhirnya Yusuf memutuskan menerima tawaran
ayahnya untuk bekerja di perusahaan milik temannya..
Di tahun
pertama Yusuf merasa agak jenuh dan bosan dengan pekerjaannya. Ia melihat
temannya Beno yang bekerja di sebuah tempat pembuatan furnitur dan perabot “Ku
lihat Beno santai sekali dalam bekerja, jam segini biasanya orang bekerja dia
masih berjalan – jalan dengan teman wanitanya.” Ucapnya dalam hati. Dalam batin
ia merasa agak iri dengan kesenangan yang di dapatkan oleh Beno.
Di tahun
kedua Yusuf kepikiran kuliah. Ia merasa ilmunya masih belum cukup untuk
membangun sebuah usaha. Ia memiliki impian besar yang sangat mulia. Jika ia
menjadi orang sukses dia ingin membangun sebuah tempat pendidikan agama yang
layak di Desanya, membangun sebuah perpustakaan desa, dan memperbaiki Mushala
di Desanya.
Setelah
lima tahun bekerja ia berpikir untuk memulai usaha sendiri. Dia merasa
pengalamannya bekerja pada perusahaan teman ayahnya sudah cukup untuk pemula
seperti dirinya. Lalu ia meberanikan diri meminjam modal kepada koprasi untuk
membuka usaha. Yusuf ingin membuka sebuah usaha Rental komputer. Sedangkan Beno
hidup senang karena telah bisa menghasilkan uang sendiri.
Suatu
hari Yusuf dan Beno bertemu di suatu jalan. Beno tengah mengendarai sepeda
motor dengan agak terburu – buru, sedangkan Yusuf tengah membeli bahan
kebutuhan usahanya.
“Woy Ben
??? Mau kemana kamu ?” tanya Yusuf setengah berteriak.
“Woy Suf
! aku mau ke tempat kerja ni.” Jawabnya santai.
“Kok
telat sekali jam segini kamu baru berangkat kerja.” Kata Yusuf.
“Tadi
aku bangun kesiangan. Kamu sendiri ngapain disini ?” Beno balik bertanya.
“Aku
sedang membeli peralatan dan bahan – bahan untuk usahaku.” Jawabnya.
“Kamu
sudah membuka usaha sendiri Suf ?? agak kaget.
“Alhamdulillah,
aku mau memulai usaha Rental komputer di dekat kampus.” Jawab Yusuf.
“Wah
makin maju aja kamu suf, kalau ada kerjaan beri tau aku ya hehehe.” Kata Beno
sambil tertawa.
“Bisa di
atur itu Ben, hehehehe...” Balas Yusuf sambil tertawa juga.
“Kalau
begitu aku duluan ya. Sudah telat sekali aku ini. Sampai jumpa lagi nanti.”
Beno berlalu dengan sepeda motornya.
“Ya.
Hati – hati Ben.” Balas Yusuf.
Yusuf
pun sudah selesai dengan semua yang di butuhkannya. Dia pulang dan mulai
melakukan pekerjaannya. Satu minggu lamanya ai mempersiapkan semuanya. Hingga
akhirnya ia berhasil membuka usaha barunya. Dengan kemampuan yang ia peroleh
sewaktu sekolah dulu ia tidak begitu sulit dalam melakoni usaha ini.
Tidak
lama membuka usaha Yusuf membeli dua buah mesin fotocopy dan peralatan kantor
lainnya. Dia memanfaatkan peluang dari para mahasiswa dan mahasiswi guna
keperluan kuliah.
Yusuf
belum puas dengan apa yang ia peroleh sekarang, ia masih ingin membuka usaha
percetakan. Rencana itu terus berputar – putar dikepalanya. Dia ingin segera
mewujudkan impian mulianya. Sampai saat itu ia hanya mampu membangun sebuah
surau untuk anak – anak belajar mengaji dengan beberapa buku bekas yang ia
dapatkan dari sumbangan mahasiswa kampus dekat rentalnya.
Sepuluh tahun kemudian Yusuf berhasil membangun usaha
percetakannya dengan modal yang ia peroleh dari usaha rentalnya. Ia terus
membangun usahanya yang kecil hingga kini menjadi besar. Ia telah membuka
cabang di beberapa daerah di sekitar desanya. Yusuf sangat bersyukur atas
keberhasilan yang ia raih. Namun ia tidak lupa akan impian dan nazarnya untuk
membangun perpustakaan desa guna meningkatkan ilmu pengetahuan. Surau pengajian
anak – anak juga ia bangun menjadi gedung semi permanen. Dan ia tidak akan lupa
untuk merenopasi mushala di desanya.
Sedangkan
Beno menganggur karena di pecat dari pekerjaannya akibat ia sering terlambat
dan suka bolos kerja. Beno yang dulu hidup senang banyak uang, kini harus
merana karena tidak lagi memiliki pekerjaan.
ya bangggg/
BalasHapusblog baru ya bang,,,,
mampir ke aku ya ban...
sangkyu
iya bg,,,!!!
BalasHapusnanti mampir bentar